Sejarah Lengkap Kerajaan Sriwijaya
Sejarah Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya (atau
juga disebut Srivijaya) adalah salah satu kemaharajaan maritim yang kuat di
pulau Sumatera dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan
membentang dari Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa,
Kalimantan, dan Sulawesi. Dalam bahasa Sansekerta, sri berarti “bercahaya” dan
wijaya berarti “kemenangan”.
Bukti awal mengenai
keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I
Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6
bulan. Prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7,
yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682. Kemunduran pengaruh
Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa
peperangan diantaranya serangan dari raja Dharmawangsa Teguh dari Jawa di tahun
990, dan tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya
tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya dibawah kendali kerajaan Dharmasraya.
Setelah Sriwijaya jatuh,
kerajaan ini terlupakan dan eksistensi Sriwijaya baru diketahui secara resmi
tahun 1918 oleh sejarawan Perancis George Cœdès dari École française
d’Extrême-Orient.
·
Historiografi
Tidak terdapat catatan lebih
lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan
dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang
mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis
George Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam koran berbahasa Belanda dan
Indonesia. Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap “San-fo-ts’i”,
sebelumnya dibaca “Sribhoja”, dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk
pada kekaisaran yang sama.
Sriwijaya menjadi simbol
kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar Nusantara selain Majapahit di Jawa
Timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum
nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara
sebelelum kolonialisme Belanda.
Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya
Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts’i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sansekerta dan
Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya
Zabaj dan Khmer menyebutnya Malayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain
mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan. Sementara dari peta Ptolemaeus
ditemukan keterangan tentang adanya 3 pulau Sabadeibei yang kemungkinan
berkaitan dengan Sriwijaya.
Sekitar tahun 1993,
Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan berpendapat bahwa pusat Sriwijaya
berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di
provinsi Sumatera Selatan sekarang). Namun sebelumnya Soekmono berpendapat
bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara
Sabak sampai ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang), dengan catatan
Malayu tidak di kawasan tersebut, jika Malayu pada kawasan tersebut, ia
cendrung kepada pendapat Moens, yang sebelumnya juga telah berpendapat bahwa
letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus
(provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petunjuk arah perjalanan dalam catatan
I Tsing, serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan
candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian
hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan
cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak
di Muara Takus). Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I,
berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di Kadaram (Kedah
sekarang).
·
Pembentukan dan pertumbuhan
Belum banyak bukti fisik
mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan. Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan
dan merupakan negara maritim, namun kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya
di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi
untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Beberapa ahli masih
memperdebatkan kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya, selain itu
kemungkinan kerajaan ini biasa memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan
yang menjadi ibukota tetap diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan
daerah pendukungnya diperintah oleh datu setempat.
Kekaisaran Sriwijaya telah
ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari prasasti Kedukan Bukit pada
tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Di
abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu
dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Kota
Kapur yang yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini
telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga
Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan
ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada
Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat
dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan
Sriwijaya. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan
maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat
Karimata.
Ekspansi kerajaan ini ke
Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengontrol dua pusat
perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan
candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan Cham di
sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk
mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke
kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal
abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya
atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri imperium Khmer,
memutuskan hubungan dengan Sriwijaya di abad yang sama. Di akhir abad ke-8
beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah
kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra
bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di abad ini pula, Langkasuka di
semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Di masa berikutnya, Pan Pan dan
Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah
pengaruh Sriwijaya.
Setelah Dharmasetu,
Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835.
Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan
ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di
Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah
yang selesai pada tahun 825.
·
Agama dan Budaya
Sebagai pusat pengajaran
Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari
negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang
melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas
Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, serta di abad ke-11, Atisha, seorang
sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana
di Tibet. I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha
sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Pengunjung yang datang ke
pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan.
Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut
berkembang di Sriwijaya.
Kerajaan Sriwijaya banyak
dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu kemudian diikuti pula oleh
agama Buddha. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui
perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9, sehingga
secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta kebudayaannya
di Nusantara.
Sangat dimungkinkan bahwa
Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara,
tentunya menarik minat para pedagang dan ulama muslim dari Timur Tengah.
Sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya,
kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak,
disaat melemahnya pengaruh Sriwijaya.
Ada sumber yang menyebutkan,
karena pengaruh orang muslim Arab yang banyak berkunjung di Sriwijaya, maka
raja Sriwijaya yang bernama Sri Indrawarman masuk Islam pada tahun 718.
Sehingga sangat dimungkinkan kehidupan sosial Sriwijaya adalah masyarakat
sosial yang di dalamnya terdapat masyarakat Budha dan Muslim sekaligus.
Tercatat beberapa kali raja Sriwijaya berkirim surat ke khalifah Islam di
Suriah. Pada salah satu naskah surat yang ditujukan kepada khalifah Umar bin
Abdul Aziz (717-720M) berisi permintaan agar khalifah sudi mengirimkan da’i ke
istana Sriwijaya.
·
Raja-raja
Sriwijaya
Dari abad ke-7 sampai ke-13 Masehi,
Kerajaan Sriwijaya pernah di pimpin oleh raja-raja di bawah ini, yaitu:
- Dapunta Hyang Sri Jayanasa
- Sri IndravarmanChe-li-to-le-pa-mo
- Rudra VikramanLieou-t’eng-wei-kong
- Maharaja WisnuDharmmatunggadewa
- Dharanindra Sanggramadhananjaya
- Samaragrawira
- Samaratungga
- Balaputradewa
- Sri UdayadityavarmanSe-li-hou-ta-hia-li-tan
- Hie-tche (Haji)
- Sri CudamanivarmadevaSe-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa
- Sri MaravijayottunggaSe-li-ma-la-pi
- Sumatrabhumi
- Sangramavijayottungga
- Rajendra Dewa KulottunggaTi-hua-ka-lo
- Rajendra II
- Rajendra III
- Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa
- Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa
- Srimat Sri Udayadityawarma Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa
·
Kehidupan
Sosial-Ekonomi dan Kebudayaan
Letak Sriwijaya sangat strategis di
jalur perdagangan antara India-Cina. Di samping itu juga berhasil menguasai
Selat Malaka yang merupakan urat nadi perdagangan di Asia Tenggara, menjadikan
Sriwijaya berhasil menguasai perdagangan nasional dan internasional. Penguasaan
Sriwijaya atas Selat Malaka mempunyai arti penting terhadap perkembangan
Sriwijaya sebagai negara maritim, sebab banyak kapal-kapal asing yang singgah
untuk menambah air minum, perbekalan makanan dan melakukan aktivitas
perdagangan.
Dalam bidang kebudayaan khususnya
keagamaan, Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat agama Buddha yang penting di Asia
Tenggara dan Asia Timur. Agama Buddha yang berkembang di Sriwijaya ialah Agama
Buddha Mahayana, salah satu tokohnya ialah Dharmakirti. Para peziarah agama
Buddha dalam pelayaran ke India ada yang singgah dan tinggal di Sriwijaya. Di
antaranya ialah I'tsing.
·
Perdagangan
Di dunia perdagangan,
Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni
dengan penguasaan atas selat Malaka dan selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa
Sriwijaya memiliki aneka komoditi seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh,
pala, kepulaga, gading, emas, dan timah yang membuat raja Sriwijaya sekaya
raja-raja di India. Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya
membeli kesetiaan dari vassal-vassalnya di seluruh Asia Tenggara.
Pada paruh pertama abad
ke-10, diantara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan
dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan negeri kaya
Guangdong, kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan
keuntungan dari perdagangan ini.
·
Relasi dengan kekuatan regional
Untuk memperkuat posisinya
atas penguasaan pada kawasan di Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan
diplomasi dengan kekaisaran China, dan secara teratur mengantarkan utusan
beserta upeti.
Pada masa awal kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak
sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan,
sebagai ibu kota kerajaan tersebut, pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan
pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya
terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan
Khirirat Nikhom.
Sriwijaya juga berhubungan
dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti Nalanda berangka 860
mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara kepada
Universitas Nalanda. Relasi dengan dinasti Chola di selatan India juga cukup
baik, dari prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya telah membangun sebuah
vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah
Rajendra Chola I naik tahta yang melakukan penyerangan di abad ke-11. Kemudian
hubungan ini kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana raja
Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan
cukai pada kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut. Namun demikian pada
masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bahagian dari dinasti Chola, dari
kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai
raja San-fo-ts’i membantu perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079, pada
masa dinasti Song candi ini disebut dengan nama Tien Ching Kuan dan pada masa
dinasti Yuan disebut dengan nama Yuan Miau Kwan.
·
Masa keemasan
Kemaharajaan Sriwijaya
bercirikan kerajaan maritim, mengandalkan hegemoni pada kekuatan armada lautnya
dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun
beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi,
melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai serta untuk menjaga wilayah
kedaulatan dan kekuasaanya.
Dari catatan sejarah dan
bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir
seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa,
Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina. Dominasi atas
Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute
perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap
kapal yang lewat. Sriwijaya mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan
gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.
Sriwijaya juga disebut
berperan dalam menghancurkan kerajaan Medang di Jawa, dalam prasasti Pucangan
disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya yaitu peristiwa hancurnya istana Medang
di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang kemungkinan merupakan
raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan
terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.
·
Penurunan
Tahun 1017 dan 1025,
Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, India selatan,
mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijya, berdasarkan prasasti Tanjore
bertarikh 1030, kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya,
sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu. Selama
beberapa dekade berikutnya seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam
pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan
peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap
tunduk kepadanya. Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya berita utusan
San-fo-ts’i ke Cina tahun 1028.
Antara tahun 1079 – 1088,
kronik Tionghoa mencatat bahwa San-fo-ts’i masih mengirimkan utusan dari Jambi
dan Palembang. Dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa
kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah
pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja
Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi
urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia,
dan 13 potong pakaian. Kemudian juga mengirimankan utusan berikutnya di tahun
1088. Namun akibat invasi Rajendra Chola I, hegemoni Sriwijaya atas raja-raja
bawahannya melemah, beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai muncul
Dharmasraya sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah
jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa
bagian barat.
Berdasarkan sumber
Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua
menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat
kuat dan kaya, yakni San-fo-ts’i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa
rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts’i memeluk
Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi; Si-lan (Kamboja),
Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya
sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan),
Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun
daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-t’ing (Cherating, pantai timur semenanjung
malaya), Ts’ien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t’a (Sungai
Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong
(Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t’o (Sunda).
Namun demikian, istilah
San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya,
melainkan telah identik dengan Dharmasraya, dari daftar 15 negeri bawahan
San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan kerajaan Dharmasraya, walaupun
sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di
kawasan laut Cina Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton telah menyebutkan
Malayu, disebutkan Kertanagara raja Singhasari mengirim sebuah ekspedisi
Pamalayu atau Pamalayu, dan kemudian menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja
Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang
tertulis pada prasasti Padang Roco. Peristiwa ini kemudian dikaitkan dengan
manuskrip yang terdapat pada prasasti Grahi. Begitu juga dalam Nagarakretagama,
yang menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit juga sudah tidak menyebutkan
lagi nama Sriwijaya untuk kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan Sriwijaya.
·
Struktur pemerintahan
Pembentukan satu negara
kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya, dapat dilacak dari
beberapa prasasti yang mengandung informasi penting tentang kadātuan, vanua,
samaryyāda, mandala dan bhūmi.
Kadātuan dapat bermakna
kawasan dātu, (tnah rumah) tempat tinggal bini hāji, tempat disimpan mas dan
hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga. Kadātuan ini dikelilingi
oleh vanua, yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang
didalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi masyarakatnya. Kadātuan
dan vanua ini merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut
Casparis, samaryyāda merupakan kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang
terhubung dengan jalan khusus (samaryyāda-patha) yang dapat bermaksud kawasan
pedalaman. Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan otonom dari bhūmi yang
berada dalam pengaruh kekuasaan kadātuan Sriwijaya.
Penguasa Sriwijaya disebut
dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkaran raja terdapat secara
berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan
rājakumāra (pewaris berikutnya). Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan
berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya.
·
Keruntuhan Sriwijaya
Kemunduran yang berakhirnya Kerajaan Sriwijaya dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya:
Pada tahun 1017 dan 1025,
Rajendra Chola I, soerang dari dinasti Cholda di Koromande, India Selatan. Dari
dua serangan tersebut membuat luluh lantah armada perang Sriwijaya dan membuat
perdagangan di wilayah Asia-tenggara jatuh pada Raja Chola. Namun Kerajaan
Sriwijaya masih berdiri.
Melemahnya kekuatan militer
Sriwijaya, membuat beberapa daerah taklukannya melepaskan diri sampai muncul
Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai
kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya,
Sumatera, sampai Jawa bagian barat.
Melemahnya Sriwijaya juga
diakibatkan oleh faktor ekonomi. Para pedagang yang melakukan aktivitas
perdagangan di Kerajaan Sriwijaya semakin berkurang karena daerha-daerah
strategis yang dulu merupakan daerah taklukan Sriwijaya jatuh ke tangan raja-raja
sekitarnya.
Munculnya kerajaan-kerajaan yang
kuat seperti Dharmasraya yang sampai menguasai Sriwijaya seutuhnya serta
Kerajaan Singhasari yang tercatat melakukan sebuah ekspedisi yang bernama
ekspedisi Pamalayu.
Kerajaan Sriwijaya pun akhirnya runtuh di tangan Kerajaan Majapahit pada
abad ke-13.
·
Warisan sejarah
Meskipun Sriwijaya hanya
menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan terlupakan dari ingatan masyarakat
pendukungnya, penemuan kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coedès pada tahun
1920-an telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik
raya, berupa kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan
bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan berjaya di masa lalu.
Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan
Sriwijaya sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia.
Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas
daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang, provinsi Sumatera Selatan. Bagi
penduduk Palembang, keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya,
seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga
berlaku bagi masyarakat selatan Thailand yang menciptakan kembali tarian
Sevichai (Sriwijaya) yang berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.
Di Indonesia, nama
Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan sebagai nama jalan di berbagai kota,
dan nama ini telah melekat dengan kota Palembang dan Sumatera Selatan.
Universitas Sriwijaya yang didirikan tahun 1960 di Palembang dinamakan
berdasarkan kedatuan Sriwijaya. Demikian pula Kodam II Sriwijaya (unit komando
militer), PT Pupuk Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di Sumatera Selatan), Sriwijaya
Post (Surat kabar harian di Palembang), Sriwijaya TV, Sriwijaya Air (maskapai
penerbangan), Stadion Gelora Sriwijaya, dan Sriwijaya Football Club (Klab sepak
bola Palembang), semua dinamakan demikian untuk menghormati, memuliakan, dan
merayakan kegemilangan kemaharajaan Sriwijaya.
Source: http://www.indonesiaindonesia.com/f/4090-sriwijaya/
Semoga artikel ini bermanfaat bagi kita semua 😃 :smiley:
Yuk bergabung bersama kami di togel online
BalasHapuskami bandar togel online mengajak anda
untuk mencoba keberuntugan anda di sini
kami menyediakan permaianan
TOGEL
DD48 red blue LIVE
Info lebih lanjut hubungi CS kami...
Telp : +85581569708
BBM : D8E23B5C
Line : togelpelangi
Skype: Togel Pelangi
Link: http://www.togelpelangi.com/
[url=http://livecasino338.com][IMG]https://i.imgur.com/MRfx9En.jpg[/IMG][/url]
BalasHapusLIVECASINO338 Situs Live Casino Terpercaya Seindonesia.. Menyediakan 6 Permainan
Dalam 1 User ID, BACCARAT ☆ ROULETTE ☆ SIC BO ☆ DRAGON TIGER ☆ SLOT
GAME ☆ SABUNG AYAM !!!
- Minimal Deposit Rp. 25.000, Withdraw Rp. 50.000
- Dilayani CS Ramah & Sopan 24 Jam Nonstop
- Live Dealer Cantik & Seksi.HOT PROMO TERBESAR :
- Bonus Deposit 10% [ NEW MEMBER ]
- Bonus Rollingan 1%- Bonus Referal 3% [SEUMUR HIDUP!!!]
untuk informasi lebih lengkap silahkan
hubungi Customer service
kami:
Phone Number : +855 965922558
PIN BBM : 2AD88032Yahoo
Mail : cs_livecasino338
Wechat : +855965922558#livecasino
#casinoonline #bettingonline #rubyqq
#casinoonlineterpercaya #situsonlinecasino #deposit #cashback #medan #indonesia #gamesonline #2AD88032